Sindrom Guillain-Barre atau GBS adalah penyakit saraf yang sebetulnya cukup jarang ditemukan. Penyakit ini menyerang sistem saraf tepi, yaitu sistem saraf di luar otak dan sumsum tulang belakang. GBS dapat menyerang semua usia, walaupun lebih sering ditemukan pada orang dewasa dan lanjut usia. Perempuan dan laki-laki memiliki risiko yang sama untuk terserang GBS. Diestimasikan GBS menyerang 100.000 orang setiap tahunnya.
Terdapat banyak faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami penyakit ini, antara lain:
– Usia. Mereka yang berusia lanjut lebih berisiko terkena penyakit ini.
– Jenis kelamin. Pria lebih berisiko daripada wanita.
– Mengalami Infeksi pernapasan atau pencernaan lainnya seperti flu, gangguan pencernaan, dan radang paru-paru
– Mengidap infeksi HIV/AIDS.
– Infeksi mononuklear.
– Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
– Limfoma Hodgkin.
– Pernah menjalankan operasi atau melakukan suntikan.
Sel saraf tepi memiliki axon yang dilapisi oleh selubung mielin yang berperan dalam mempercepat hantaran impuls listrik. Pada GBS, terjadi proses demielinisasi yang ditandai dengan terjadinya kerusakan pada selubung ini. Tidak hanya selubung mielin yang terganggu, kerusakan juga bisa saja menyerang axon yang diselubunginya.
GBS merupakan penyakit autoimun, yang artinya kerusakan selubung tersebut disebabkan oleh komponen sistem imun tubuh pengidap. Hal ini sering kali dipicu oleh infeksi oleh bakteri atau virus. Bakteri yang sering dikaitkan dengan terjadinya GBS adalah campylobacter yang menyerang sistem pencernaan. Virus yang sering dikaitkan dengan GBS adalah virus Epstein-Barr, cytomegalovirus, dan HIV.
Gejala pertama yang muncul adalah kesemutan pada kaki atau tangan, terkadang disertai rasa nyeri yang berawal di bagian tungkai atau punggung. Gejala lainnya yaitu kelemahan tubuh yang ditandai dengan kesulitan berjalan. Pada kebanyakan kasus, kelemahan dimulai dari tungkai lalu menjalar ke atas (bersifat asenden), tetapi dapat juga dimulai dari mata. Pada fase lanjut, kelemahan dapat menyerang otot-otot pernapasan yang dapat berakibat fatal. Pada kebanyakan orang, gejala mencapai tingkat keparahan paling berat dua minggu setelah gejala pertama muncul.
Selain kelemahan otot, individu dengan GBS dapat mengalami gangguan penglihatan akibat lemahnya otot-otot sekitar mata, kesulitan menelan, bicara dan mengunyah, sensasi seperti tertusuk jarum pada tangan dan hati, dan rasa nyeri yang cenderung memburuk pada malam hari. Individu juga dapat mengalami gangguan koordinasi, dengan ciri postur yang tidak stabil, gangguan detak jantung dan tekanan darah, serta gangguan pencernaan dan kontrol buli-buli.
Gejala dapat berbeda pada tiap individu, mulai dari hitungan jam, hari atau berminggu-minggu. Pada fase akhir, individu dengan GBS mengalami paralisis total, termasuk paralisis otot pernapasan, sehingga perlu disokong oleh alat bantu napas.
GBS merupakan penyakit autoimun, sehingga pengobatan ditujukan untuk menangani aktivitas abnormal antibodi yang menyerang saraf perifer. Hal ini dilakukan dengan pemberian imunoglobulin intravena (IVIg) yang diambil dari donor sehat dengan tujuan melawan imunoglobulin pengidap dan meredakan gejala.
Tata laksana lain yang dapat dilakukan ialah plasmaferesis, yaitu penggantian plasma darah untuk menyaring plasma pengidap. Metode ini menggunakan mesin khusus. Darah pengidap akan disaring lalu dialirkan kembali ke tubuh pengidap. Hal ini juga bisa memicu tubuh pengidap untuk memproduksi plasma baru yang sehat.
Kedua metode ini dilakukan secara rutin selama beberapa minggu setelah gejala muncul. Penanganan lain untuk pengidap GBS bersifat suportif, tergantung pada gejala yang dialami. Contohnya adalah memberikan alat bantu napas pada pasien dengan kelemahan otot pernapasan. Upaya untuk memperbaiki kelemahan motorik, dokter sering menyarankan fisioterapi secara rutin yang meliputi terapi wicara untuk memulihkan kemampuan menelan dan bicara.
🌎 www.jakartaphysiocare.com